Mutiara Embun Di Rerumputan, Pendidikan & Pengasuhan

KARENA KORONA


Matahari setengah tujuh pagi menyaru bulan kesiangan di balik kabut putih. Perjalananku menyusuri jalanan aspal desa sudah dimulai satu jam sebelumnya.

Ritme awal hari di desa berlangsung jauh lebih lambat daripada di kota. Sehingga, meskipun ada orang-orang yang harus bergegas berangkat kerja atau mengantar anak ke sekolah, mereka tetap kelihatan woles. Hanya orang-orang tak tahu diuntung yang ngebut ketika melewati hamparan areal persawahan lengkap dengan limpahan oksigen, pemandangan rombongan bapak ibu tani yang sedang mengobrol ceria sambil mengolah tanah dan, terkadang, kemunculan sapi pembajak sawah—yang sekarang sangat sulit dijumpai bahkan di buku pelajaran SD.

“Senangnya jalan-jalan! Sekolahnya libur, ya!”

Seorang ibu tani bersepeda tua berseru seraya melewatiku dan anak-anak kecil yang berjalan bersamaku. Menyapa tidak harus karena saling kenal. Melengos, pura-pura tidak tahu/melihat ketika berpapasan dengan sesama manusia di jalan itu seingatku memang tidak patut dilakukan oleh wong Jowo. Kenal tidak kenal, sapalah orang yang berpapasan/bersitatap denganmu. Ucapkan nuwun sewu sambil sedikit membungkukkan badan jika kamu melewati orang yang tengah menyapu jalan. It taste sweet not on your tongue, but in your soul.

“Iya, Bu! Ada wabah Korona!” sahutku.

Gara-gara Korona, sebagian besar pekerja kantoran wfh dan anak-anak sekolah diliburkan. Aku senang melihat orang tua kembali memegang tampuk kendali proses belajar anaknya. Dengan atau tanpa panduan whatsapp dari guru, ini adalah sebuah hal yang harus disyukuri. Korona memberikan aku kesempatan menyaksikan peristiwa langka ini. Ketika proses belajar dikembalikan ke rumah, sungguh gamblang di mataku perbedaan antara orang tua yang menjadikan sekolah sebagai alat bantu pendidikan anak dan orang tua yang menjadikan sekolah sebagai “tempat penitipan anak”.

Meskipun sama-sama harus melakukan penyesuaian, orang tua yang sejak awal terlibat proses pendidikan anaknya tampak berusaha meneguhkan kuda-kuda dan mengintenskan bimbingan mereka kepada anak-anak. Kebiasaan-kebiasaan baru ala pendidikan rumah pun bermunculan. Ada yang mengajak anaknya membuat kue, belajar mencuci baju sendiri, mengembangkan nalar melalui diskusi, dll.  Pembelajaran justru menjadi lebih kaya, tidak melulu mengerjakan soal-soal tekstual. Sedangkan orang tua yang selama ini pasrah bongkokan kepada sekolah tentu saja mengalami frustrasi tingkat dewa. Malangnya, anak-anak mereka menjadi tempat pembuangan limbah emosi tersebut.

Orang tua membentak dan marah-marah, menuduh anaknya bodoh dan malas. Di antara mereka, ada yang menyambut kepulangan anak-anaknya sehabis bermain di luar dengan lolongan kemarahan yang luar biasa. Anak-anak itu saling menatap, bingung. Mungkin, mereka sulit mencerna situasi–kadang orang tua mengizinkan mereka main, dan tiba-tiba saja melarang. Dari kalimat amarah sang orang tua, aku menangkap bahwa anak-anak sudah diberi tahu tentang larangan tersebut. Mengapa masih membandel?

Sikap bandel anak bisa menjadi bahan kritik bagi diriku sebagai orang tua. Peraturan sering diucapkan begitu saja seolah anak-anak itu makhluk jenius dengan rentang perhatian yang panjang dan dalam. Bagaimana bisa orang tua menuntut reaksi sesuai harapannya, namun anak-anak tidak didudukkan, diberi pengertian mengapa suatu aturan diterapkan, dan tidak diberi waktu untuk menyesuaikan diri? Menuntut bakti, namun tak pernah memberi hati. Kedurhakaan anak di kemudian hari berasal dari kedurhakaan orang tua kepada anak di masa silam. Ini lebih menakutkan daripada serangan korona.

Benih-benih kedurhakaan bisa datang dari sikap-sikap tidak empatik orang tua kepada anak. Misalnya, dengan berpikir satu sisi bahwa anak-anak keenakan karena sekolah libur panjang sekali. Oleh karena itu, mereka harus dibebani tugas-tugas tanpa ampun. Tidak tahu kah kita? Meskipun anak-anak senang sekali libur panjang, di sisi lain, sebenarnya mereka juga tersiksa. Waktu sepanjang itu harus mereka lewati dengan melakukan apa?

Selama ini, hari-hari mereka jalani bagai roda menggelinding. Mereka tidak perlu banyak berinisiatif karena aktivitas-aktivitas hingga siang hari sudah ditentukan oleh sekolah. Sore sampai malam pun, mereka belum lepas dari aktivitas berbau sekolah, seperti mengerjakan PR dan les. Kegiatan jalan pagi selama wabah korona membuat saya menyaksikan bagaimana anak-anak yang bingung itu memulai harinya dengan menundukkan kepala, menatap layar gadget mereka.

Anak-anak bangun awal, duduk-duduk di perempatan jalan dan bermain gadget. Oh, mereka tak peduli bahwa waktu itu udara demikian segar sehingga sangat nikmat jika kita berolahraga. Beberapa anak jalan-jalan pagi sepertiku. Tapi, kepala mereka terus menunduk dan hampir-hampir tidak melihat ke depan. Mereka asyik bermain gadget.

Apakah mereka juga merasakan sepertiku, kenikmatan paru-paru yang dilimpahi oleh oksigen pagi hari? Apakah mereka juga tahu sepertiku, bahwa kabut sedang turun begitu tebal dan mempermainkan imajinasiku seolah aku sedang terjebak dalam sebuah kisah misteri? Apakah mereka melihat sepertiku, bahwa di dekat situ orang tua mereka sedang sibuk membibit cabai demi menyambung hidup?

Burung-burung blekok terbang membentuk formasi huruf V, lalu mendarat dengan anggunnya di tengah sawah. Ada yuyu yang entah bagaimana caranya “duduk-duduk” di buk jembatan, dan cacing temuanku yang kugeletakkan belum semenit, tiba-tiba sudah melesakkan hampir seluruh tubuhnya ke dalam tanah berbatu. Dan, oh, lihat—matahari memerah dalam bulatan sempurna menyerupai bola Kamehame di tangan Goku! Aku takjub. Tapi, aku sedih; anak-anak tetap bermain gadget dan mengabaikan semua itu.

Aku harap, di tengah kebingungan menghadapi pola hidup baru akibat wabah korona, kita bisa membimbing anak-anak kita secara empatik sebagai sesama manusia untuk beradaptasi dengan situasi baru.

Korona telah mengingatkan kewajiban & hak kita sebagai pemegang utama pendidikan anak-anak dan memberikan kita kesempatan yang sangat luas untuk membangun kembali kebersamaan serta ikatan batin dengan mereka. Kesempatan berharga ini sebelumnya banyak terenggut oleh rutinitas sehari-hari atas nama menuntut ilmu di sekolah dan mencari sesuap nasi.

Sangat sayang, jika berkah di balik korona kita sia-siakan. Aku lihat, akhir-akhir ini, mulai ada rombongan anak yang berjalan-jalan pagi di area persawahan. Macam-macam gaya mereka; mulai mengenakan kaus oblong dan beralaskan sandal jepit sampai memakai sporty outfit lengkap. Beberapa anak tampak bersepeda bersama orang tua mereka dengan wajah ceria.

Aku menemukan tanda-tanda bahwa hari-hari mencekam ini bisa terasa lebih damai, salah satunya, jika kita bersedia membuka pelukan penuh penerimaan dan pengertian untuk keluarga kita.

(Eryani Widyastuti)

Leave a comment