Mutiara Embun Di Rerumputan, Resensi Buku

Raden Sosrokartono (I): Pangeran Jawa yang Jenius dan Humanis


wp-1476053165659.jpg

sugih tanpa bandha / digdaya tanpa aji / nglurug tanpa bala / menang tanpa ngasorake

(kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan)

(Tulisan yang terukir pada nisan Raden Mas Panji Sosrokartono)

Terperanjat kagum dan diliputi oleh rasa penasaran, ketika saya membaca mengenai Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak lelaki Raden Ajeng Kartini yang lahir di Mayong, 10 April 1877 itu. Saya menyesal benar, karena di masa muda tidak belajar mengenai Raden Sosrokartono,  malah sibuk menghapal soundtrack Samurai X yang membuat lidah keriting. Sosok yang lebih suka menyebut dirinya sebagai Mandor Klungsu  dan Joko Pring ini mungkin tidak sepopuler dua Bapak Proklamator kita, atau tokoh dunia semacam Mahatma Gandhi dan Ibu Theresa. Juga, tidak tercatat dalam Guinness Book of Records, dan tampaknya tidak tercatat pula dalam buku pelajaran sejarah Indonesia. Namun, sebagaimana sesuatu yang tidak populer, belum tentu berarti buruk, dan sesuatu yang tidak tercatat (oleh sejarah mainstream) bukan berarti tidak ada; jasa dan pengabdian Raden Sosrokartono kepada Indonesia serta kemanusiaan tetap tidak dapat dipungkiri, dan sikap hidupnya yang bermartabat amat layak untuk diteladani. Tetap saja, ada orang-orang yang menghormati dan mencatat baik-baik sosok Raden Sosrokartono dalam hati serta buah pena mereka. Melalui merekalah saya bisa mengenal tokoh istimewa ini. Dan, beginilah Pak Mandor Klungsu di mata saya.

Pergulatan Batin Sang Pangeran Jawa

Tak puas hanya dengan membaca buku Ajaran-Ajaran Adiluhung Raden Mas Panji Sosrokartono dan Kempalan Serat-serat : Drs. Sosrokartono, saya mulai merambah artikel-artikel internet semacam HistoriaAkar News, dan beberapa blog pribadi. Dari sumber-sumber itu, samar-samar tercermin kemampuan supranatural Raden Sosrokartono, seperti mampu melihat masa depan sejak kecil, menyembuhkan orang hanya lewat sentuhan atau media air, bahkan menjadi wartawan bergaji tinggi di koran New York Herald dan New York Hearld Tribune dengan disokong oleh kemampuan gaib tersebut dalam menyusun berita. Kesan lain yang lebih kuat lagi adalah kemampuannya menguasai setidaknya 26 bahasa (poliglot), sehingga saat mengambil jurusan  Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden Belanda, ia dijuluki Si Jenius dari Timur oleh orang-orang Eropa.

Di tanah asing ini, Raden Sosrokartono menjadi seorang pelopor. Menjadi orang Indonesia pertama yang belajar di negeri Belanda, sekaligus -di kemudian hari- menjadi orang Indonesia pertama yang melontarkan kritik secara terbuka kepada Pemerintah Belanda.

“Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”

(Pidato Raden Sosrokartono berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), saat menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada Agustus 1899).

Tak banyak yang tahu, bahwa Raden Sosrokartono juga merupakan wartawan perang Indonesia pertama dan sempat menggegerkan dunia dengan hasil liputannya mengenai perundingan rahasia antara Jerman dan Perancis untuk mengakhiri Perang Dunia I. Padahal rencananya, yang diumumkan ke publik adalah perjanjian damai versi resmi di Versailles, Perancis. Tak cukup di situ, putera Bupati Jepara ini juga menjadi orang Indonesia pertama yang ditunjuk sebagai penerjemah resmi Liga Bangsa-Bangsa (sekarang PBB). Dengan semua kegemilangan ini, dalam pandangan umum, tentulah Raden Sosrokartono dianggap memiliki hidup sempurna. Bayangkan saja; seorang bangsawan, jenius, memiliki kedudukan, dengan gaji besar lagi.

Tetapi, yang terjadi pada Raden Sosrokartono adalah sebaliknya. Kegelisahan mendera sanubari. Ia terus mengkritisi diri sendiri. Betulkah dunia bisa diselamatkan hanya dengan kemajuan teknik saja? Apakah yang sebenarnya bisa dikaji dari kehidupan ala Eropa? Dan, apakah sebenarnya yang dicari jauh dari tanah Jawa sampai sekian lama di Eropa?

Titik balik kesadaran Raden Sosrokartono muncul ketika Tuhan menciptakan momen; ia berhasil menyembuhkan seorang bocah Eropa yang sakit parah, sementara dokter-dokter Eropa sendiri gagal menyembuhkannya. Padahal, yang dilakukan Raden Sosrokartono hanyalah menyentuhkan tangan di dahi bocah itu, disertai rasa belas kasih dan keinginan untuk menolong yang besar.

Setelah melewati perenungan mendalam, Raden Sosrokartono akhirnya menyadari bahwa sesungguhnya menyembuhkan orang lain itulah panggilan hidupnya. Tugas khusus dari Tuhan untuk ia laksanakan, meskipun harus mengorbankan segala yang dimiliki. Pada tahun itu pula, ia meninggalkan pencapaian gemilangnya di Eropa, dan pulang ke tanah air.

Mengabdi kepada abdi Tuhan, dan melindungi keselamatan hidup, tanpa pamrih, tanpa takut, tegak mantap dengan menyerah. Tanpa aji, tanpa ilmu, saya tidak takut, sebab payung saya Gusti saya, perisai saya juga Gusti saya.

(Raden Sosrokartono, Surat Medan, 12 Mei 1931)

 

Pengabdian Dokter Alif

Setelah sempat mendirikan sebuah perpustakaan bagi masyarakat pribumi di Jawa Tengah, lalu terlibat pergerakan nasional di Bandung, sampai-sampai mendapatkan tekanan oleh Belanda, akhirnya Raden Sosrokartono memutuskan untuk mendirikan rumah pengobatan yang bernama Darussalam (Rumah yang Damai). Di sini, ia membangun filosofi diri, melalui sebutan Mandor Klungsu. Pemimpin para biji asam. Klungsu memiliki makna; bahwa biji asam, meskipun kecil, namun keras, sulit dihancurkan. Setelah tumbuh pun, ia akan menjadi pohon asam yang amat berguna, mulai dari batang, daun, hingga buah. Filosofi ini menggambarkan semangatnya untuk teguh berjuang dalam memberikan manfaat kepada sesama manusia.

Selain Mandor Klungsu, Raden Sosrokartono juga acapkali menggunakan nama Joko Pring, yang hemat saya bermakna; tidak menikah (Joko) dan berusaha meneladani sifat bambu (Pring). Memberi manfaat sebesar-besarnya, seperti bambu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Kukuh dalam memegang prinsip diri. Di sisi lain, luwes dalam bermasyarakat. Dan, memiliki kesamaan rasa terhadap sesama manusia, serta senantiasa memelihara rasa persatuan dengan bangsa sendiri. Manusia berbangsa-bangsa bagaikan bambu berumpun-rumpun. Meski berkelompok dalam rumpun berbeda, sejatinya setiap batang adalah sama-sama bambu.

“Susah sama-sama susah; senang sama-sama senang; sama-sama ingat; pring sama-sama pring.”

(Joko Pring)

“Hormat dan cinta pada bangsa lain, tapi hormat dan cinta juga pada bangsanya sendiri… “

(Mandor Klungsu)  

Di Darussalam, Raden Sosrokartono menemukan kemantapan hati. Inilah dunianya. Silih berganti, orang-orang dari segala bangsa dan latar belakang datang mengunjunginya untuk meminta pengobatan dan nasehat kehidupan; mulai dari orang Jawa, Melayu, Eropa, Cina, Arab; rakyat jelata, pejabat, raja, hingga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Termasuk Bung Karno; ia terhitung sering mengunjungi Raden Sosrokartono di Darussalam untuk belajar bahasa dan berdiskusi mengenai berbagai hal.  Karena kemampuannya yang mumpuni dalam hal menyembuhkan, Raden Sosrokartono mendapatkan berbagai julukan, antara lain, Dokter Alif dan Wonder Dokter. Mengapa? Sebab dalam mengobati pasien, ajaibnya, ia hanya berbekal memasang huruf Alif dan meminumkan air putih yang telah beliau tirakati dengan laku tertentu, termasuk puasa dan doa-doa kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan tanpa pendampingan obat-obatan lain dan tanpa meminta imbalan dari sang pasien. Saking tersohornya, ia sampai diundang oleh raja-raja dari tanah seberang, termasuk Aceh dan Sumatera.

Dalam buku Kempalan  Serat-Serat: Drs. RMP. Sosrokartono diceritakan, bahwa Raden Sosrokartono pergi ke Sumatera dan Aceh dengan diantar dan disambut oleh para pembesarnya; raja-raja beserta keluarga dan pejabat kerajaan daerah yang dituju. Begitu sampai, betapapun telah dirahasiakan, rakyat selalu saja mengetahui kedatangannya. Maka tak heran, ke manapun Pak Mandor Klungsu ini pergi, senantiasa dikerumuni oleh massa.

Selama berada di tanah seberang, Raden Sosrokartono dijamu sebagai tamu kehormatan kerajaan. Dihidangi makanan lezat-lezat dan dipersilakan menempati kamar istimewa nan nyaman. Memikirkan betapa lelahnya  harus melakukan perjalanan keluar masuk hutan, naik turun gunung, menuju desa-desa maupun kota-kota, tanpa peduli panas atau hujan, untuk melayani pengobatan ratusan orang setiap hari hingga tengah malam, sampai sering tidak sempat ganti baju dan mandi saking membludaknya pasien, sungguh amat pantas Raden Sosrokartono mendapatkan semua perlakuan istimewa itu. Tetapi, bagaimana sikap Raden Sosrokartono sendiri? Ia malah memilih tarak brata; makan dua biji cabai setiap hari (terkadang diselingi sebuah pisang). Memilih tidur di kursi, di bawah pohon, di alun-alun, atau di bawah jembatan. Hal ini berlangsung selama sebulan lebih. Mengapa ia begitu ekstrim memuasai kenikmatan-kenikmatan itu?

Pertama, Raden Sosrokartono menganggap segala kenikmatan yang sedang digelar di hadapannya adalah godaan. Jadi, tarak brata tersebut adalah sebagai pengingat diri dan bukti sikap konsistennya atas prinsip, bahwa ia adalah seseorang yang tidak memiliki harta benda, kekayaan, dan pangkat, kecuali hanya budi dan badan. Alasan kedua, tak lain agar ia dapat bersatu rasa dengan penderitaan rakyat kecil.

Susah dan payah badan saya sendiri tidak saya perhitungkan akan tetapi yang sulit, yaitu merasakan susah orang banyak tanpa menderita susah sendiri. Tidak mudah mendekati susah, akan tetapi jauh dari susah. Ajinya tidak lain hanya aji tekad; ilmunya ilmu pasrah; rapalnya keadilan Tuhan.

(Mandor Klungsu, Surat Tanjung Pura-Langkat, 26 Oktober 1931)

Yang mengharukan, saat Raden Sosrokartono merasa amat penat dengan segala aktifitas pelayanan, ia selalu mengingat betapa girangnya sang ibu jika mengetahui putranya kelelahan karena menolong sesama manusia.

“Apa yang dinamai obat utama? Yaitu bekti saya, kasih sayang saya kepada Ibu: itulah yang di manapun menjadi obat dekat, obat jauh; obat susah, obat sakit; obat gelap, obat terang; obat tidur, obat laku. Ibu, yaitu wakil Allah di dunia; Ibu yang mendekatkan saya kepada Tuhan. Ingatlah saudara-saudara, yang lupa kepada ibunya.”

(Joko Pring, Tanjung Pura-Langkat, 19 Oktober 1931)

Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe Sepanjang Hayat

Pada awal kependudukan Jepang, kesehatan Raden Sosrokartono mengalami penurunan. Separuh badannya lumpuh. Dalam kondisi begitu, tetap saja ia melakukan pelayanan kemanusiaan. Akhirnya, di usia 75 tahun, tanggal 8 Februari 1952, Pak Mandor Klungsu meninggal dunia, tanpa meninggalkan istri,  keturunan,  maupun harta benda. Sebagai penghormatan terakhir, Presiden Sukarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah beliau dari Bandung menuju Semarang dengan pesawat terbang militer, dan dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah.

Penghormatan khusus ini tentunya tidak akan terjadi bila Raden Sosrokartono tidak memiliki jasa besar terhadap Republik Indonesia. Hal ini bisa ditelusuri dari berbagai sumber pustaka, bahwa ia memiliki kedekatan khusus dengan tokoh-tokoh nasional. Sebagai contoh, dalam otobiografinya, beberapa kali, Bung Hatta menyebutkan nama Raden Sosrokartono. Begitu pula Bung Karno dan Mr. Muhammad Yamin; keduanya pernah berbicara mengenai diri Pak Mandor Klungsu. Juga, mengingat pada awal kembalinya Raden Sosrokartono ke tanah air, ia masuk ke dalam lingkaran Taman Siswa yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dan merupakan salah satu tempat berkumpulnya para tokoh pergerakan nasional. Ditambah lagi, pada bagian Purwaka buku Kempalan Serat-Serat: Drs. RMP. Sosrokartono disebutkan; “Kalau dengan penerbitan ini Panitya dapat menggetarkan, menggemakan Jiwa Kepribadian Indonesia nan luhur itu, yang juga memelopori makna Pancasila negara kita dalam waktu sugengnya…”. Jika penelusuran ini terus dilakukan, entah berapa kali lagi nama Raden Sosrokartono akan saya temukan, dan berapa banyak lagi sepak terjangnya yang belum saya ketahui akan terkuak.

Mulanya, sempat saya bertanya. Jika Si Joko Pring begitu berjasa bagi bangsa ini -dengan didukung oleh kiprahnya di dunia internasional dan keutamaan karakternya, mengapa seolah namanya tak pernah dikenang secara resmi, atau setidaknya tercantum dalam buku sejarah sekolah sebagai tokoh yang harus dihormati dan diteladani? Usai membaca ulang buku-buku tentangnya, saya menemukan jawab dalam kata-katanya sendiri.

“Jika, al-hamdu-lillahi, ada pulung kehormatan jatuh pada badan saya, para saudara saya persilahkan berfikir demikian. Semoga pulung kehormatan tadi jangan sampai dipandang jatuh pada diri saya, akan tetapi hendaknya dipandang dan diartikan jatuh pada bangsa kita. Saya sekedar menjalankan saja.”

(Mandor Klungsu, Surat Medan, 12 Mei 1931)

Ah, sanggupkah saya meneladani sikapnya yang tanpa pamrih dan jauh dari berbangga diri itu? Setelah berjuang mati-matian, bisakah saya melepaskan peng-aku-an atas semua pencapaian? Sebuah PR besar telah menanti.

(Eryani Widyastuti)

**catatan penulis: semoga di lain kesempatan, saya dimampukan untuk menulis artikel lanjutan; Raden Sosrokartono (II): Ilmu Kanthong Bolong,  dan Prinsip-Prinsip Luhur Lainnya

 

Sumber referensi:

*Muhammad A. Syuropati, Ajaran-Ajaran Adiluhung Raden Mas Panji Sosrokartono, (Syura Media Utama, Januari 2015)

*Panitya Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, Kempalan Serat-serat : Drs. Sosrokartono, (Surabaya : Panitya Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, 1977)

*Pengembaraan Sosrokartono, Kakak Kartini @http://historia.id/persona/pengembaraan-sosrokartono-kakak-kartini

*RMP Sosrokartono; Jurnalis Perang Dunia, Polyglot Pertama Indonesia (1) @http://www.akarnews.com/4983-rmp-sosrokartono-jurnalis-perang-dunia-polyglot-pertama-indonesia-1

*RMP Sosrokartono; Kumpulan Serat, Ilmu, Laku dan Mutiara (3) @http://www.akarnews.com/5087-rmp-sosrokartono-kumpulan-serat-ilmu-laku-dan-mutiara-3

*4 Riwayat Kesaktian Sosrokartono, Tokoh Bersejarah yang Tenggelam oleh Popularitas Kartini @http://www.roobek.com/2016/04/1031/4-riwayat-kesaktian-sosrokartono-tokoh-bersejarah-yang-tenggelam-oleh-popularitas-kartini.html

5 thoughts on “Raden Sosrokartono (I): Pangeran Jawa yang Jenius dan Humanis”

  1. Tak ada kata2 yg bisa aku ungkapin juwit, tulisan yg sgt inspiratip dan patut diteladani, buat penulis bangga luar biasa istimewa👍😙

    Liked by 1 person

Leave a comment