Mutiara Embun Di Rerumputan, Pendidikan & Pengasuhan, Percik Embun Di Pepohonan

NGUBER MBAH NUN APRIL 2018: “CERITA-CERITA KECIL YANG TERCECER”


 

Kowe gelem, isa!

 

Tiga kali dalam satu bulan (April 2018), saya mengikuti Sinau Bareng CNKK (Cak Nun & Kiai Kanjeng) di Yogyakarta, Malang, dan Kediri. Maiyahan tergila bagi saya yang militansinya cuma sebatas menyimak dhawuh Mbah Nun lewat You Tube dan sesekali saja hadir di acara Maiyahan rutin. Ah, memang bukan apa-apa jika dibandingkan keistiqomahan plus ”keedaanan” laku dulur-dulur lain. Semakin tak pantas jika mau dibandingkan dengan frekuensi kelilingnya Mbah Nun dalam berbagai forum Maiyahan.

Bayangkan; ketika saya masih memulihkan kondisi tubuh pasca melek dari malam hingga menjelang subuh, Mbah Nun sudah beraksi di kota lain. Coba cek betapa padatnya jadwal Mbah Nun (dan Kiai Kanjeng) di caknun.com, momong rakyat di berbagai daerah, bahkan yang sangat pelosok. Niscaya kita jadi malu karena sering aras-arasen mengantar Ibu ke pasar atau suka protes pada Allah karena dikasih ban bocor dalam perjalanan ngapel ke rumah pacar. Tapi, tidak semua niat baik bisa diterima baik oleh semua orang. Ada saja orang yang nyacat Mbah Nun, ada juga yang me-ngesopbuntut-kan pitutur-pitutur beliau demi kepentingan pribadi. Seandainya saja bersedia merunduk untuk memasuki wilayah rasa Maiyah, setidaknya mereka akan berpikir 1000 kali sebelum berbuat demikian. Sesuatu yang akan mereka sesali di hari tua nanti, kala surya kehidupan mulai temaram.

Mocopat Syafaat: “Tuhan Sudah Mati; ah, itu perasaan Adik saja!”

“Semua persoalan hidup adalah anugerah Tuhan untuk memperkuat diri kita sebagai manusia. Tidak ada penderitaan dan kebahagiaan. Itu hanya kata-kata karangan para penyair!” Pak Eko Tunas berseru lantang. Beliau adalah salah satu sahabat Mbah Nun yang “tergabung” dalam 4E (Emha-Eko-Eha-Ebiet). Kisah demi kisah masa muda mereka dituturkan dengan begitu hidup oleh Pak Eko Tunas. Saya sungguh terpesona melihat bagaimana Pak Eko Tunas menertawakan kegetiran-kegetiran yang beliau alami. Hidup tanpa kepastian hendak makan apa hari ini sampai harus ngutang ke sana-kemari, numplek-nya nasi-nasi bungkus hasil utangan yang sedianya hendak disuguhkan tamu, dan nglokro pulang setelah menemani Ebiet manggung dan kemudian ditinggalkan penonton saat baru mulai nggenjreng adalah beberapa kisah getir yang saya ingat. Tapi beliau menertawakan nasib. Ketangguhan semacam ini membutuhkan selera humor yang lahir dari kecerdasan dan kelapangan hati. ‘Ko, Ebiet meh siram.’, kalimat Mbah Nun saat menyuruh Pak Eko Tunas menimba untuk menyiapkan air mandi Ebiet yang kala itu baru kriyip-kriyip bangun sungguh tak bisa lepas dari telinga dan mungkin akan jadi cerita wajib setiap bertemu saudara atau teman yang menggemari Ebiet G. Ade.
Malam itu di Mocopat Syafaat—my first Mocopat Syafaat, ada dua penampilan teatrikal yang memesona. Pak Eko Tunas menampilkan monolog yang berisi kritik atas korupsi dan dua fragmen dari Pentas Kelahiran yang menggambarkan kekayaan dialektika dalam diri seorang manusia. Dua-duanya ditampilkan dengan properti yang sederhana namun berhasil menggemuruhkan dada, mendidihkan darah, dan menohok kesadaran saya saat menontonnya (secara gratis). Dari sini saya belajar bahwa pertunjukan tidak harus gumebyar bungkusnya, menghabiskan begitu banyak dana, untuk menghibur dan menyumbangkan manfaat kepada kemanusiaan.

Sambil bersandar pada dinding warung yang terus mengalirkan bergelas-gelas minuman hangat dan berpiring-piring makanan berbagai menu bagi dulur-dulur yang datang, saya menyimak wedaran-wedaran melalui sebuah layar tancap di depan warung. Ilmu Glepung yang pernah beberapa kali saya dengar secara sekilas sebelumnya dijelaskan singkat malam itu. Maksudnya, ketika  memiliki kesadaran debu, kita memahami hal-hal hingga kepada breakdown komponen-komponennya sehalus/sekecil mungkin. Misalnya, kita memahami kursi tidak hanya sebagai tempat duduk dari kayu saja. Kita juga paham desain kursi itu, jenis kayu apa yang digunakan, siapa pembuatnya. Kemudian masuk ke dalam dimensi yang lebih lembut lagi, kita memahami bagaimana kayu kursi itu ditumbuhkan, bagaimana sifat molekul-molekul kayu, atom-atom kayu, dan seterusnya.
Perbedaan religi/agama dan religiusitas/rasa keagamaan juga dibahas di sini. Saat seorang jamaah menanyakan tentang frasa kondang Nietszche ‘Tuhan sudah mati, dan kita yang membunuhnya’, Mbah Nun menyarankan respon yang santai, “Ah, itu kan perasaan Adik saja.” Duh, saya ngakak tidak habis-habis. Kadang, kita ini terlalu methentheng menghadapi hidup dan akhirnya mudah tersulut, lalu meledak.

Kowe gelem, isa! Jika tidak keliru, kalimat tersebut dilontarkan Pak Eko Tunas. Sejak detik itu, kata-kata tersebut saya ucapkan ketika tembok rasa ‘aku bisa nggak, ya?’ menghadang langkah dalam menyelesaikan tugas-tugas. Mantra Pak Eko Tunas melengkapi dhawuh Mbah Nun tentang menekuni sesuatu sampai kita menjadi ahli. “Kalau kamu membuat tempe, teruslah belajar membuat tempe hingga orang akan mencari kamu begitu butuh tempe.” Dalam proses untuk menjadi ahli, banyak orang (termasuk saya) tidak punya kepercayaan diri. Maka, ucapkan sekali lagi: kowe gelem, iso! Menjadi ahli dan merintis kemandirian yang berdaulat—baik dalam pikiran maupun kehidupan—adalah dua hal yang dipesankan Mbah Nun supaya kita tidak terpengaruh gonjang-ganjing kegilaan dunia.

Berbagai informasi yang membanjiri manusia 24 jam tanpa henti setiap hari merupakan salah satu aspek yang turut bertanggung jawab atas kegilaan dunia. Mengenai hal ini, kita harus berhati-hati dalam memilah serta mengolah informasi, memasang filter, dan tidak ditelan mentah-mentah. Sebagai pegangan, Mbah Nun menjelaskan bahwa berita (news) seharusnya bersifat denotatif atau qod’i. Sebagaimana perintah/larangan langsung dari Allah, berita tidak boleh disertai tafsir. Berita/fakta haruslah bersifat pakem, baku, atau default. Sementara informasi berupa opini bersifat konotasi atau dzonni. Opini hanyalah carangan, atau custom. Sayangnya, orang zaman sekarang sudah tidak bisa membedakan fakta dengan opini. Semua bercampur baur dalam dunia informasi. Persoalan benar/tidaknya sebuah konten informasi menjadi tidak penting lagi, sebab yang diburu adalah popularitas. Tercermin dalam kecenderungan perilaku ‘orang mencari berita’ yang berubah menjadi ‘berita mencari orang’.


Maiyahan Kebonagung dan Ngasem: Hilangnya Kesadaran tentang Tuhan
Iseng-iseng, saya mengamati pertanda alam. Di Sinau Bareng CNKK Kebonagung-Malang, beberapa ekor kelelawar beterbangan dari dan menuju area sekitar panggung ketika Mbah Nun naik untuk tampil. Di Sinau Bareng CNKK Ngasem-Kediri, langit yang semula agak mendung dan menurunkan hujan, kemudian menyibakkan wajah, menampakkan bintang-bintang ketika Mbah Nun mulai berbicara. Othak-athik gathuk. Cuma kebetulan. Kayaknya memang demikian. Tak apa lah, saya nikmati saja dan tidak akan menuntut orang lain mempercayai apa yang saya yakini.

Duduk bersama para ibu zaman old saat Maiyahan Kebonagung, saya menjadi saksi bahwa terkadang kehadiran Ibu Novia lebih dirindukan daripada kehadiran Mbah Nun. Sudah beberapa kali di berbagai Maiyahan, saya mendengar kasak-kusuk semacam ‘Novia teko gak?’, ‘Cak Nun ki bojone Novia’, ‘Saiki Novia wis gak dadi artis’, dan sebagainya. Saya—yang masih menangi zaman booming-nya Siti Nurbaya dan ikut nelangsa ketika ia harus menikahi Datuk Maringgih yang nggregetne itubisa memahami suasana kerinduan mereka akan Ibu Novia. Duduk di area tengah lapangan saat Maiyahan Ngasem, saya mengalami sendiri kepiawaian Mbah Nun mengelola massa. Keributan kecil sempat terjadi—menurut persepsi saya—karena semua orang ingin melihat sejelas mungkin sosok Mbah Nun di atas panggung. Padahal lapangan begitu luas dan dilauti manusia.

Setelah jamaah menunggu beberapa jam, barulah Mbah Nun naik panggung. Entah ada kendala teknis apa, sebab tak biasanya hal ini terjadi. Begitu Mbah Nun naik panggung, mayoritas para jamaah bagian depan berdiri secara spontan. Rata-rata, mereka mengambil gambar Mbah Nun. Sontak, proteslah para jamaah bagian tengah dan terutama yang berada di bagian belakang. “Duduk! Duduk!” seru mereka dalam bahasa Jawa. Mendengar hal ini, para jamaah bagian depan pun duduk. Namun kemudian, Mbah Nun minta semua jamaah berdiri bersama untuk bersholawat dan menyanyikan lagu nasional. Di tengah-tengah itu semua, jamaah bagian belakang protes lagi. Saya tidak begitu jelas mendengarnya, tapi terdengar seperti ‘lungguh’ (duduk). Protes ini cukup mengganggu, mengundang ketidaksukaan para jamaah bagian tengah dan depan.

Usai menyelesaikan seremoni awal tadi, Mbah Nun meminta semua duduk. Beliau menyelipkan sepatah-dua patah nasehat dan membesarkan hati para jamaah bagian belakang. Kemudian, para jamaah bagian depan, tengah, dan belakang diorkestrasi bersholawat secara bergantian dan saling bersahutan. Setelah kekompakan shalawat terasa dan atmosfer mulai anteng, barulah Mbah Nun memulai sinau bareng.
Ada beberapa poin yang sempat saya catat waktu itu. Pertama, soal mengatur pernapasan. Sepemahaman saya, Mbah Nun menyarankan untuk menarik napas dengan ucapan “Ilallah” agar yang “masuk” ke dalam diri kita adalah ridhoNya dan hal-hal yang membawa/mengingatkan kita kepadaNya. Sedangkan yang “bukan Allah” atau hal-hal yang menjauhkan kita dariNya dikeluarkan lewat hembusan napas dengan ucapan “La Illaha”. Manusia zaman sekarang, Mbah Nun menyayangkan, telah menganggap dunia sebagai miliknya. Gunung, tambang, kelapa sawit, hutan, semua dianggap milik manusia. Padahal setiap hal yang di alam semesta ini adalah mutlak milik Allah, Sang Pencipta. Jadi jika manusia ingin mengolah bumi misalnya, ia harus minta izin kepada Yang Punya. Tapi, apa yang dilakukan orang modern? Dalam mengolah bumi, ia hanya berkonsultasi pada nafsunya sendiri, sehingga timbullah kerusakan. Di samping itu, seandainya kesadaran tentang Tuhan dimiliki oleh manusia, maka ia juga akan memiliki kesadaran tentang ciptaan Tuhan, yaitu makhluk-makhlukNya. Bahwa terhadap yang non-human sekalipun, kita harus menjaga tata krama. Ini berlaku kepada semua makhluk, termasuk pepohonan. Semua makhluk Allah bersaudara, kata Mbah Nun, dan manusia adalah saudara paling buncit. Maka sudah sewajarnya bila manusia menghormati dan tidak boleh semena-mena dalam berinteraksi dengan para saudara tuanya (alam, tumbuhan, hewan, dll.) supaya hidupnya diberkahi.

Kedua, Mbah Nun berpesan supaya kita menghindari perilaku menyalah-nyalahkan orang lain. “Kalau melihat keluar (kepada orang lain, pen.), carilah apa bukan siapa. Carilah apa yang salah, bukan siapa yang salah. Ojok nduding uwong.” Berdasarkan pemahaman saya, Mbah Nun mengajak kita untuk mempelajari sesuatu yang menurut kita salah—di mana letak kesalahannya dan di mana letak kebenarannya—agar mendapatkan penilaian adil/obyektif dan utuh. Proses ini, kata Mbah Nun, akan memberikan kita ilmu baru yang menghindarkan kita dari berbuat kesalahan. Sebaliknya Mbah Nun menyarankan agar kita melihat siapa jika menengok ke dalam diri sendiri. Artinya, kita harus melakukan introspeksi.

“Jangan terjebak simbol-simbol. Adab bisa dilihat, tetapi akhlak tidak bisa dilihat oleh mata.” tutur Mbah Nun. Mengingatkan saya pada perilaku umum manusia yang gemar menilai akhlak seseorang dari hal-hal kasat mata.
Setelah dari Ngasem-Kediri, Mbah Nun dan Kiai Kanjeng tampil di Tulungagung pada keesokan harinya. Kemampuan fisik saya sudah tidak sanggup melanjutkan petualangan nguber Mbah Nun lagi. Saya hanya bisa berdoa semoga Mbah Nun dan para personel Kiai Kanjeng dikaruniai kesehatan dan semoga lain kali saya bisa mengulang kegilaan yang sama.

(Eryani Widyastuti)

2 thoughts on “NGUBER MBAH NUN APRIL 2018: “CERITA-CERITA KECIL YANG TERCECER””

Leave a comment