Bening Embun Di Tapak Daun, HAPPILY NOT EVERAFTER

HAPPILY (NOT) EVERAFTER: Chapter One (Part 2)


A GIFT UNWRAPPED

photogrid_1477288630510

==============================

ArtiKata>> Hyeong: panggilan untuk kakak lelaki yang diucapkan oleh adik lelaki; Nuna: panggilan untuk kakak perempuan yang diucapkan oleh adik lelaki; Noraebang: tempat karaoke; Soju: arak beras; Hooker Hill: lokasi prostitusi terkenal di Itaewon; Gochujang: pasta cabai

==============================

“Saya senang, Yeonghun-ssi mulai memikirkan tentang pernikahan. Saya mengerti, kamu pasti kesepian sejak pindah ke apartemen ini…” Bram membuka percakapan.

Yeonghun tersenyum simpul. Menganggap konyol komentar Bram barusan. Namun, sorot matanya tak bisa berkelit untuk membenarkan. Sepasang mata sipit itu menatap sekeliling ruangan apartemen mungilnya. Ruangan kosong inilah yang selalu menjawab salamnya sepulang kerja. Diam-diam, hati kecilnya berharap, seseorang akan menjawab salam itu dengan riang.

“Tidak juga. Di sini… saya bisa membaca banyak buku dengan tenang tanpa harus diganggu Nuna…” Ia tersenyum dalam dengus segan.

“Yeonghun-ssi… 24 tahun sekarang?” Mengabaikan jawaban Yeonghun, Bram melanjutkan topik yang telah diangkatnya. “Tidak banyak pemuda Seoul berusia 24 tahun, mau memikirkan pernikahan hingga membaca banyak buku. Bukankah ini suatu pertanda dari Allah?”

Yeonghun menunduk sembari menggosok-gosok kepala. Salah tingkah. “Hyeong tidak akan menyuruh saya segera menikah, kan? Cukup Nuna saja yang meneror dengan memaksa saya makan siang bersama gadis-gadis pilihannya.”

Bram diam, hanya menatap tenang dan mengulas senyum. Sikap kalem itu malah membuat Yeonghun merasa terintimidasi. Ia merasa harus lekas membela diri, sebelum Bram kembali berbicara.

“Hyeong, ini hanya tentang keingintahuan saja. Pernikahan masih terlalu cepat bagi saya… Orang-orang pasti akan tertawa kalau saya membicarakan pernikahan. Mereka akan berkata, menikah di usia semuda ini adalah hal konyol dan sia-sia. Membelenggu kebebasan, menghambat cita-cita, dan melenyapkan banyak kesenangan. Lagipula, masih banyak yang harus saya lakukan sebelum memutuskan untuk menikah. Biaya hidup semakin meningkat dari tahun ke tahun… semakin sulit memastikan masa depan. Memikirkan karir jauh lebih realistis—”

“Realistis tidak sama dengan materialistis. Permintaan hatimu juga hal yang realistis meski tidak membawa keuntungan materialistis.” Bram melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung pada sofa. Mementahkan argumen Yeonghun.  “Jangan menipu diri sendiri. Tak peduli apa anggapan orang… hati Yeonghun-ssi tahu bahwa saatnya telah tiba. Kamu sudah memiliki pekerjaan dan tempat tinggal. Secara logika, semua sudah cukup.”

“Ya… saya akan menikah suatu hari nanti.” Yeonghun langsung menyahut. Tampak kesal. Sungguh tak nyaman rasanya dipojokkan dalam urusan pribadi. “Tetapi, sebelum menikah, saya harus bisa menjamin kebahagiaan masa depan keluarga saya. Memastikan semuanya aman untuk dilalui. Hyeong tahu, saya selalu berhati-hati dalam membuat keputusan.”

“Ah… Yeonghun-ssi… Siapa yang bisa memastikan orang yang hari ini kaya raya tidak jatuh miskin besok? Siapa yang bisa menjamin orang yang tertawa hari ini, tidak akan bersedih satu jam kemudian?” Bram menanggapi santai. “Contoh simpel saja. Apa kita bisa menjamin diri ini akan bernapas satu detik ke depan? Lalu, bagaimana kita bisa berkata akan menjamin kebahagiaan orang lain? Tugas kita adalah berusaha membahagiakan, bukan menjamin. Allah satu-satunya yang punya kuasa memberi jaminan. Benar?”

“Tapi sebagai manusia, kita harus tetap berusaha memastikan kebahagiaan itu! Apakah Hyeong masih bisa merasa bahagia bila tahu besok keluarga Hyeong tidak punya apapun untuk dimakan?” Tanpa sadar, nada bicara Yeonghun meninggi. Emosinya sedikit tersulut. Merasa Bram tidak mau memahami pengalaman masa lalunya; betapa keras dan pahit hidup yang harus ia lalui bersama Nuna-nya. Tidak! Ia tidak mau mengulang kehidupan semacam itu. Apalagi bersama anak istrinya kelak. Oleh karena itu, kondisi mapan yang sekarang ia raih harus mati-matian dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Ya… Namun, apapun alasannya, ia merasa terlalu emosional pada Bram tadi. “Ah… maaf… Hyeong…”

Bram mengangkat alis. Termenung sejenak. Yeonghun yang sekarang berbeda dengan Yeonghun yang dikenalnya dulu. Pemuda yang selalu antusias berdiskusi mengenai Islam dan hikmah kehidupan itu telah lenyap entah ke mana. Yeonghun yang sekarang melulu mendiskusikan persoalan pekerjaan dan perkembangan perekonomian dunia bila mereka bertemu. Pemuda itu ber-thawaf mengelilingi kantor-meja kerja-karir… dan uang. Bram sungguh merasa prihatin.

“Jadi, itu yang menghalangi niat baikmu untuk menikah?” Bram menjauhkan punggung dari sandaran sofa dan menegakkannya. “Yeonghun-ssi lebih memercayai jaminan perhitungan angka-angka mati dibanding keluasan sifat Maha Pemurah Allah. Hidup semacam itu akan selalu terasa sempit dan apa yang kamu dapatkan tidak akan pernah cukup untuk mengusir ketakutanmu akan hari esok. Tapi, memang, bukankah orang moderen lebih suka mengukur segala sesuatu dengan materi? Bahkan kebahagiaan sekalipun.”

Dada Yeonghun terhentak. Paru-parunya membeku. Bram berhasil menghunjam titik lemahnya. Ia merasa tertampar.

“Saya ingin fokus bekerja dan memastikan kehidupan saya baik-baik saja. Saya tidak ingin menjadi beban bagi siapapun, terutama Nuna. Apakah itu salah?” Yeonghun mendesis lemah.

“Yeonghun-ssi tidak sedang lari dari sesuatu, kan?” selidik Bram. Namun, pertanyaannya disahuti kebisuan. Lantas, lelaki bersorot mata tenang itu pun melanjutkan. “Kamu tahu apa yang paling berat untuk dijalani bagi manusia jaman sekarang?”

Yeonghun menjepit kedua bibirnya hingga beradu dengan deretan gigi. Berpikir keras. “Krisis ekonomi… perang… penyakit mematikan…”

“Bukan.” sahut Bram tegas. “Tetapi… pikiran yang tidak sejalan dengan jiwa. Pikiran yang dipenuhi nafsu, keinginan, ketakutan… selalu berusaha memuaskan dirinya sendiri dengan hal-hal bersifat materi. Mengabaikan jeritan jiwa. Jiwa tidak butuh materi. Begitu manusia memutuskan untuk memenuhi kebutuhan jiwa, maka, akan ada begitu banyak nafsu yang dikorbankan… dan manusia harus mau menghadapi ketakutan-ketakutannya sendiri yang terdalam. Tak jarang manusia memilih oase semu untuk memuaskan dahaga jiwanya…. pergi ke noraebang*, meminum berbotol-botol soju*, mendatangi nightclub, Hooker-Hill*…”

“Saya hanya menemani mereka dan minum jus…” gumam Yeonghun tanpa sadar. Namun, tak mampu mencegah imajinasinya melayang, seolah dirinya melakoni semua yang dikatakan oleh Bram. Pulang kerja dengan kelelahan dan tekanan yang menumpuk, bersenang-senang bersama rekan-rekan kerjanya, berharap semua beban dan kegelisahan hatinya akan hilang bersama soju dan bahak tawa…

Bram mendengus kecil mengamati reaksi Yeonghun. Pandangan kosong, gelengan kepala samar-samar, dan raut pahit yang tersembunyi di bawah lapis ekspresi dinginnya. Ia tahu, adik iparnya tidak menyukai paparan ini. Namun, ia harus menjabarkannya. Sebelum semua terlambat, dan Yeonghun menjadi salah satu dari mereka.

“Yeonghun-ssi… Ketika sadar bahwa ketenangan yang didapat dari semua itu bersifat palsu… mereka kehilangan arah dan harapan. Puncaknya? Mendatangi jembatan Mapo… melompat ke sungai Han… mengakhiri hidup.”

BYURRR!!

Suasana hening seketika. Yeonghun tertunduk kelu. Seolah debur air sungai Han memenuhi pendengarannya saat ia membayangkan diri melompat ke dalamnya; dengan hati kosong, sepi, dan pedih. Di balik cermin matanya, tak terasa, tatapan Yeonghun terselimuti cairan bening.

“Ambillah nasihat dari Hyeong-mu ini. Menikahlah. Jiwamu membutuhkannya. Pernikahan yang dilandasi kesungguhan hati akan mengajari Yeonghun-ssi mengenali kesejatian dan membuang kepalsuan. Ketika itu yang terjadi, akan semakin jelaslah WajahNya dalam jiwamu. Sebagai seorang muslim… apalagi puncak kebahagiaan kita selain pertemuan dengan Allah?”

Jantung Yeonghun bereaksi otomatis terhadap kata-kata Bram. Mendenyutkan sebuah kerinduan usang. Ya… perasaan hangat dan ringan yang sedang menjalar ini, dahulu amat sering menghampirinya. Perasaan berpendar-pendar, ketika ia berdiskusi panjang lebar bersama Bram. Tentang Allah… Rasulullah… Al Qur’an… Ah… masa-masa itu…

Beberapa tepukan di bahu membuat Yeonghun mendongakkan kepala. Bram tersenyum lebar. “Saya pamit. Boram-ssi baru saja mengirim pesan supaya saya lekas pulang. Senang bisa berdiskusi lagi dengan adik lelaki saya…. Assalamu’alaikum.”

Bram melangkah menuju jalan keluar, disusul Yeonghun yang segera membukakan pintu.

“Oya, hampir lupa.” Mendadak, Bram berbalik. “Tiga hari lagi, Alin akan datang kemari. Dia mengikuti pelatihan Taekwondo selama satu minggu di dojang… ah saya lupa namanya. Tapi, lokasinya sudah saya cek di peta digital. Tak begitu jauh dari sini. Hanya satu kali naik bus.”

Kim Yeonghun payah! Weeek!

Suara melengking itu seolah mendenging dalam telinga. Jika saja saat ini adalah tiga tahun lalu, maka ia akan berjumpa seorang gadis remaja berkerudung dan berseragam putih abu-abu sedang mengayuh sepeda kuning di atas jalanan aspal yang panas, melewati dirinya dengan cepat. Samar-samar, Yeonghun dapat mencium aroma matahari yang menguar dari gadis itu.

Heissh! Gochujang*! Kenapa dia selalu mencari masalah denganku?

Anak-anak panah kenangan melesat, menghujani Yeonghun. Cuping hidungnya kembang-kempis, berusaha meredakan gemuruh aneh dadakan dalam dadanya. Meluaplah perasaan yang selama ini berhasil tertidur tenang di bawah tumpukan kesibukan pekerjaan.

Yeonghun bertemu Alin saat gadis itu masih berusia tujuh belas dan dirinya dua puluh satu. Berbeda dengan Bram, kakak lelakinya yang kalem dan bijak, Alin begitu sulit diatur dan mudah tersulut emosi. Tapi, demi rasa hormat pada sosok Bram yang telah mengajarinya Islam dan Bapak Ibu yang sangat peduli padanya, Yeonghun tetap bertahan untuk menjadi seorang kakak yang baik.

Kim YeonghunAku dikeluarkan dari sekolahaku takut sekaliaku takutaku akan hancur di sini dan tidak dapat bangkit lagi…!

Kealpaan Yeonghun menggenggam tangan Alin sesaat di Taman Kota waktu itu, menimbulkan suatu kesadaran. Ketenangan hari-hari monokromnya yang semula berkisar antara membaca buku, kuliah, dan bekerja, berubah penuh warna dan bergelombang karena tertarik pusaran masalah dalam hidup Alin. Kepeduliannya pada Alin pun semakin tak terbendung.

“Padahal sudah tiga tahun…” Bram mengernyitkan dahi, tersenyum simpul, lantas tertawa ringan. “Ternyata, Yeonghun-ssi bukan tipe orang yang mudah berpindah hati. Hahaha.”

“A-ah…! I-itu– Hyeong salah paham… tidak ada apa-apa di antara kami…” Yeonghun tergagap menanggapi. Panik! Kulit mukanya merona. Ya. Ada sepenggal kisah yang belum usai antara dirinya dan gadis itu. Yang ia pikir telah diselesaikan oleh bergulirnya waktu.

Ketika tawa renyah Bram berhenti, ia menatap Yeonghun dengan kilatan mata jenaka-misterius. “Cinta yang belum teruji dalam gelombang kehidupan pernikahan bukanlah cinta sejati. Kemungkinan besar… semua perasaan itu hanyalah nafsu untuk memiliki.”

Sepeninggal Bram, Yeonghun menyandarkan kepala pada gawang pintu apartemen. Terpekur lemas. Kalimat-kalimat Bram berputar riuh dalam otaknya. Alin… pernikahan… cinta yang belum teruji… Alin lagi…

photogrid_1477290240529

==============================

Lanjut membaca CHAPTER ONE [A Gift Unwrapped3]>>>>>

==============================

Leave a comment